Beberapa hari yang lalu, ketika saya duduk disebuah gubuk, di bawah rerindangan pohon. Di depannya ada jalan yang cukup ramai lalulintasnya. Di seberang jalan ada sebuah bangunan kayu bertuliskan “Tambal Ban”. Tak lama setelah saya duduk dan membolak-balik kertas, ada seorang pemuda berwajah beringas menuntun sepeda motornya dengan diiringi seorang gadis belia yang terlihat bosan. Berhenti tepat di depan bengkel “Tambal Ban” itu. Dengan seikit cap-cuap, tanpa ba-bi-bu Sang penunggu bengkel langsung beraksi.
Setengah jam berselang, prosesi penambalan ban telah selesai. dengan ditandai pengisian angin kedalam ban. dan secara tak segaja saya mendengar;”Pak, bayarnya nanti yah? Sekalian bensinnya seliter. Nanti Bapak pulangnya mampir saja. Aku anaknya Pak Fulan. Yang rumahnya di pertigaan itu(Sambil menunjuk ke arah barat)”. Dari percakapan itu saya teringat sebuah istilah dalam sebuah novel budaya terbitan Matapena. “Kakudung Welulang Macan”.
Sering kita mendengar, bahkan kita menjadi korban, atau lebih tragisnya kitalah pelaku dari perbuatan “Kakudung Welulang Macan”. Cerita itu hanyalah contoh kecil yang saya jumpai. Seorang pemuda yang bergaya dengan nama ayahnya yang telah lebih dahulu dikenal dan dipercaya atau mungkin lebih hebat dari dirinya.
Memang ada kalanya orang bersikap “Kakudung Welulang Macan”. Tapi karena terpaksa. Maka menjadi tragis ketika ada orang-orang yang terbiasa bersikap demikian. Nma ayah lah, ibu lah, mbah lah, om lah, teman lah, dan lah-lah yang lain yang dapat digunakan untuk alibi. Kalau mengandalkan nama orang lain terus, lalu kapan kita akan jadi orang?
Perilaku demikian yang sering terjadi adalah di dunia pesantren. biasanya terjadi pada Habib, Syarifah, Gus Dan atau Ning. Berusaha memperlihatkan ke-habib-annya, ke-syarifah-annya, ke-gus-annya dan ke-ning-annya untuk mempermudah urusannya. Dan pengkat-pangkat itu dalam dunia pesantren membuat para santri tunduk. Dalilnya memuliakan Ahlul-’ilmi, atau ahlul-bait. Tapi banyak pula Habib, Syarifah, Gus, dan Ning yang malu ketika ada temannya tahu bahwa dia itu Habib, Syarifah, Gus atau Ning.
Tak terkecuali hal-hal demikian pun baru-bari ini menimpa anak-anak pejabat di Indonesia. Tepatnya, pada masa reformasi hingga sekarang. Yang namanya bersanding dengan nama bapaknya, yang bergelar Gus, yang ini yang itu. semuanya lengkap. Dan yang terbaru juga masih hangat itu masih jelas sekali, kan?
“Kakudung Wlulang Macan”, terdiri dari 3 kata. Kakudung, Welulang, dan Macan. ketika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi Berselimut, Kulit, dan Macan atau Harimau. Tujuan dari “Kakudung Welulang Macan” adalah agar macan-macan yang lain tak mencakar atau menggigit bahkan memakannya. Yah, untuk mengelabui agar kita berhati-hati dengan macan, yang ternyata hanya kulitnya saja.
Seharusnya kita pun tahu. Mana macan yang sesungguhnya, dan mana kulit macan yang dipakai kancil untuk berselimut. sehingga tidak ada alasan untuk takut memukul macan jadi-jadian yang sering berkeliaran di sekitar kita. Dalilnya pun jelas. Kata Nabi;”Tujukkanlah jati dirimu ketika bertamu”. Jadi bukan “Welulang Macan” yang kita kenakan. Kan lebih baik “Welulang” sendiri?