Televisi merupakan media informasi yang mudah murah bagi masyarakat. Siapa yang tidak memiliki televisi di rumahnya. Bahkan anak jalanan yang hidup di jalan saja masih menyempatkan nonton tv meskipun hanya mengintip di rumah orang misalnya. Bagi para pengusaha pertelivian dan periklanan pun, tv menjadi wadah dan pusat penghasilan. Semua itu tak lepas dari peran masyarakat yang meluangkan waktunya untuk menonton acara di tv yang saat ini didominasi acara sinetron dan reality show.
Dulu sinetron merajai dunia pertelevisian. Namun seiring dengan kualitas sinetron Indonesia yang buruk dan banyak mengandung plagiat, menjadikan masyarakat berpikir ulang menonton acara ini. Meskipun tidak sedikit juga yang masih setia menontonnya. Kebanyakan penonton setia sinetron adalah penonton kelas C,D, E. artinya masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah. Berbeda dengan tayangan reality show yang didominasi penonton kelas A dan B (baca: kelas menengah ke atas atau penonton cerdas). Bagaimana cara mengetahui hasil daftar penonton tv.
Dalam acara talk show, sering pembawa acaranya tidak segan menyebut kata rating dan share. Para pemain sinetron pun kerap mengatakannya di kala sesi wawancara dengan pers. Dimana kedua hal tersebut menjadi pegangan agar lahan uang mereka sebagai entertainmert tidak kandas. Bagaimana tidak. Bagus tidaknya rating dari sinetron yang mereka bintangi menentukan penghasilan mereka. Namun sayangnya, sedikit sekali dari para lakon entertainment yang peduli dengan kualitas acara. Seorang penulis skenario kenamaan Indonesia, Nucke Rahma pernah mengatakan bahwa dunia pertelevisian sekarang khususnya sinetron menjadi bernilai komersil. Jika tidak laku bakalan tidak tayang. Jadi lupakan jauh-jauh kalau ingin membuat acara yang idealis. Masalahnya sekarang bagaimana ukuran lakunya itu. Jawabannya tentu saja di jumlah rating dan share suatu acara. Keduanya harus berjalan seimbang. Artinya kalau ratingnya bagus tapi sharenya sedikit, ya kemungkinana bisa berhenti tayang. Begitu pun sebaliknya. Kecuali kalau ada yang menjamin tayangan tetap jalan meskipun tidak ada yang nonton. Untuk kasus terakhir ini biasanya ada pada tv yang bersangkutan. Misalnya acara berita tengah malam. Siapa yang nonton coba.
Perkembangan dunia pertelevisian kini makin pesat. Penonton semakin pintar untuk memilih acara di tv. Buktinya jumlah penonton acara berbau informasi seperti berita, gossip sampai talk show lebih banyak dari penonton sinetron. Bahkan ajang kompetisi seperti x faktor, IMB, indonesia idol hingga master cheff menjadi jawara di tv. Hal inilah yang sepertinya membuat sinetron Indonesia makin terpuruk. Ironisnya fakta tersebut tak membuat para pekerja sinetron lebih kreatif. Tapi justru memperburuk citra sinetron. Adegan lebay, gimmick hasil comot adegan ini itu di film lain, konflik monoton dan tentunya panjang episode. Kasus terakhir inilah masalah inti pesinetronan Indonesia. Kalau acaranya dapat rating tinggi, cerita justru dipanjangin. Bukannya diselesaikan dan membuat judul baru.
Lagi-lagi ini soal rating. dan yang perlu ditambahkan adalah keberadaan lembaga sensor film. Dalam pasal 47 undang-undang no 32 tahun 2002 tentang penyiaran menyatakan bahwa isi siaran dalam bentuk film dan /atau iklan (bagi jasa penyiaran televisi) wajib memperoleh tanda lulus sensor dari lembaga yang berwenang. Dalam hal ini adalah LSF (Lembaga Sensor Film). Sejak maraknya pornoaksi beberapa tahun lalu, LSF semakin ketat membatasi tayangan di tv. Sayangnya pembatasan ini tidak rata dilakukan di semua tv. Sebut saja ANTV yang sempat menyensor adegan terlalu horor, banyak darah, gambar terlalu gelap. bahkan setan. Global TV nampak memberi tanda buram pada areal sensitif perempuan baik di acara film atau berita. Padahal sebenarnya itu tidak perlu (kaos tipis, tank top). Pembatasan yang terlalu berlebihan inilah yang kerap dijadikan kambing hitam para pembuat sinetron sebagai penghambat kreatifitas mereka dalam mengembangkan cerita. Akibatnya mutu sinetron makin hancur. Alasannya mungkin kehabisan stok gimick. Kalau memang begitu sinetron di Indonesia ditiadakan saja. Tidak mendidik. Bagaimana?