Warung Bebas

Sunday 4 September 2016

Belajar Dari Sang Ayam

Pendidikan›Belajar Dari Sang Ayam                       
 

Malam telah datang, ketika Ayub mulai menguap tanda telah mengantuk. Ayub adalah seorang anak berumur tujuh tahun, sekarang sudah bersekolah di sekolah dasar. Mataya sudah redup, mulai mengantuk akibat bermain seharian, kecapekan.


“Umi, Ayub ngantuk,” kata Ayub merajuk kepada uminya yang sedang membaca buku.


Ayub berjalan ke arah uminya sambil mengucek mata sambil sesekali menguap, menandakan kalau dia sudah mengantuk sekali. Melihat itu, umi Sekar begitu nama ibu dari Ayub mendatangi anaknya yang sedang berjalan ke arahnya dengan mengantuk.


“Adik sudah mengantuk ya, sayang? Ya udah sekarang tidur ya, tapi jangan lupa berdoa dan wudhu dulu yah sebelumnya,” jelas umi Sekar kepada anaknya.


“Tapi ade sudah mengantuk, mi,” rengek Ayub sambil bergelayutan kepada umi.


“Hayo, adik mau anak sholeh tidak?” Tanya umi sambil mengelus kepala anaknya.


Ayub mengangguk sambil mengucek matanya yang sudah mengantuk.


“Anak sholeh kalo mau tidur harus berdoa dulu, kan mancontoh nabi Muhammad. Lagian kalo ade tidak berdo’a nanti tidurnya di ganggu sama setan lho. Mau ade?”


Ayub menggeleng dan dengan cepat umi menggelitiki anaknya yang menggemaskan itu, Ayub yang sudah mengantuk tetap saja cekikikan digoda sama uminya,  akhirnya Ayub tidur setelah membaca do’a tidur dan sebelumnya wudhu.


*********


Kokok ayam jago tersiar bertalu – talu, menggema didinginnya fajar. Tubuh kecil Ayub mendadak bergelimpangan ke kanan dan ke kiri tak beraturan, sambil tangan mungilnya menutup kupingnya. Seolah terganggu oleh bunyi sesuatu.


“Umi, ayamnya suruh pergi dong,” rengek Ayub sambil menutupi kupingnya.


Umi Sekar yang sedang tilawah lalu menutup mushafnya dan mendekati anaknya yang sedang berguling – guling di kasur.


“Duh, ayamnya kok belum pergi sih, kokoknya ramai sekali, ade gak bias tidur,” kembali Ayub merengek kepada uminya.


Umi yang melihat tingkah anaknya hanya tersenyum, sudah beberapa waktu ini Ayub merasa terganggu dengan suara kokok ayam diwaktu fajar, mungkin saat ini waktunya memberikan pelajaran kepada si buah hati. Digoncang pelan badan kecil si Ayub oleh uminya.


“Nak, bangun yuk, sholat subuh. Tuh abi sudah nungguin ade. Mau berangkat ke mesjid tuh.”


Bisik umi di telinga ankanya yang masih di tutup kedua tangannya.


“ayo, ade. Ikut abi ke mesjid tidak?”


Akhirnya abi juga ikutan membangunkan si kecil. Dengan langkah yang masih sempoyongan, ayub beranjak dari kasurnya. Dengan terkantuk – kantuk ayub di pakainkan umi sarung dan baju koko kesanganya tak lupa peci bundar warna hijau menghias kepalanya. Akhirnya anaknya kesayangannya itu pergi ke mesjid untuk sholat subuh dengan abinya. Lega hati umi.


Sepulang dari masjid, terlihat Ayub sudah segar terkena basuhan air wudhu dan udara pagi, sikecil sudah tidak mengantuk lagi.


“Asslamualikum umi,” sapa Ayub ketika masuk ke rumahnya.


Tanpa di komando si kecil langsung menghambur ketubuh umi yang sedang melihat tivi di sofa ruang tengah. Selanjutnya bergelayut manja dipundak umi Sekar.


“Ade masih ngantuk ga, hayo?” Tanya umi sambil menciumi pipi anaknya.


“Enggak dong mi, kan udah sholat” jawabnya sambil balas menciumi pipi umi.


Kemudian umi berbalik badan dan menghadap kepada anaknya yang berganti bergelayut dari depan. Tangan umi meraih remote tivi untuk mematikan tivi.


“ Umi mau tanya sama Ayub ya, kok tadi pagi ade guling – guling sendiri di kasur gitu?”


Yang di tanya malah manyun, memonyongkan bibirnya yang mungil itu ke depan sambil memainkan gamis umi berwarna pink.


“Eh, siapa yang ajarin coba? Di tanya umi malah manyun gitu?” umi kembali berkata kepada Ayub sambil mecubit gemas bibir mungil anaknya.


Sejenak kemudian ayub mulai membuka mulutnya, dan perlahan mengucapkan kalimat dan masih terbungkus dengn mulutnya yang manyun.


“Itu mi, ayamnya berisik, kan ade gak bisa bobok,” jawab Ayub manja sambil memainkan gamis yang dipakai umi.


“Lho ade kan udah bubuk dari jam delapan malem,” jawab umi.


“Masih kurang mi,” ada saja alasan dari Ayub.


Umi cuma bisa mengeleng – geleng kepala. Dipegangnya dagu anaknya yang masih tertunduk, umi merubah posisi duduk anaknya dari berhapan kini berjajaran.


“Tau gak dek? Harusnya ade itu berterima kasih kepada ayam jago?”


Umi mengawali pembicaraan sambil mengelus kepala anaknya.


“Kok bias mi, kan ayamnya berisik?” ayub mulai mengeluarnya jurus ngeyelnya.


“Ih, anak umi. Ngeyelnya minta ampun!”


“Hehe” muka Ayub sudah tidak manyun lagi setelah di godain uminya terus menerus.


“Gini, coba kalau ade tadi tidak dengar suara ayam berkokok, pasti ade tidak bangun kan?”


“Hee,” lagi – lagi muka polos si kecil membuat gemas umi.


Tak lama kemudian cubitan gemas mampir ke pipi gembul Ayub, yang dicubit hanya meringis sambil bales memencet hidung uminya, akibatnya umi semakin gemas dan menggelitiki buah hatinya, sampai Ayub tertawa terpingkal – pingkal.


“Tau gak dik, ayam itu salah satu makhluk Alloh yang bisa menjadi guru kita,” jelas umi kemudian.


“Lho, kok guru? Guru ayub kan ustazah Qonita di SDIT,” jawabnya polos.


Umi kembali tersenyum, kemudian melanjutkan penjelasannya sambil merangkul anaknya. Ayub menyandarkan kepalanya ke dada umi.


“Begini sayang, ayam itu disuruh sama Alloh untuk berkokok di waktu fajar, agar bisa membangunkan orang – orang untuk sholat subuh, jadi jangan dimaki – maki atau suruh pergi, tidak boleh itu. Coba kalau Ayub member tahu umi untuk sholat terus umi marah – marah, pasti Ayub sedih kan?”


“iya dong mi, masa nyuruh kebaikan malah dimarahi,” jawab Ayub berapi – api mendengar pertanyaan umi.


“Nah sama aja kan, tadi pagi adik marahin ayam yang bangunin untuk sholat subuh, coba kalo ayamnya gak berkokok, terus ade tidak bangun sholat subuh, terus Alloh marah ma ade gimana?”


Mendengar penjelasan umi, Ayub kembali manyun sambil memainkan telapak tangan uminya. Kali ini umi Sekar tahu kalo anaknya merasa bersalah.


“Kebaikan ayam jago di pagi hari harus kita tiru sayang, Ayub belum pernah lihat kan ada ayam matokin kepala orang gara – gara tidak mau bangun saat dibangunin dengan kokokannya? Atau ada ayam yang mutung gak mau berkokok lagi ketika tahu yang di bangunin tidak kangun – bangun kayak Ayub,” jelas umi sambil melirik si kecil.


Yang di lirik cuma meringis. Sambil mengusap – usapkan kepalanya ke ketiak umi. Kebiasaan Ayub kalau sedang bermanjaan dengan umi.


“Terus juga, walaupun di maki – maki dan di suruh pergi kayak Ayub tadi pagi, tapi ternyata ayam tidak marah kan? tetep saja dia berkokok untuk membangunkan orang sholat diwaktu subuh, karena itu memang sudah tugasnya. Jadi kalo Ayub mau berbuat baik, tidak boleh gampang menyerah, dan harus sabar, jangan marah juga kalo ajakan kebaikan dari Ayub tidak digubris orang lain. Begitu sayang. “


Ayub menggangguk pelan, kepala di usap – usap umi Sekar dengan lembut. Tangan Ayub memainkan jemari uminya. Tiba – tiba Ayub nyeletuk.


“Ayam, Ayub minta maaf ya, gak bentak – bentak ayam lagi deh” katanya dengan polos.


Tiba – tiba terdengar kokok keras ayam di belakang rumah, umi dan ayub seketika saling berpandangan lalu tertawa bersama. Ayub mengira kokokan itu pertanda permintaan maafnya telah diterima sang ayam.


Semenjak itu, Ayub tidak pernah lagi mengumpat sang ayam, karena tahu telah berjasa membangunkan dirinya setiap mau sholat subuh. Ayub bersyukur kepada Alloh bisa bangun pagi setiap hari untuk subuh bersama abi di masjid.

0 comments em “Belajar Dari Sang Ayam”

Post a Comment

Kritik dan saran anda sangat kami butuhkan untuk kemajuan blog ini